Adzan merupakan panggilan salat yang kemudian dilanjut dengan iqamah. Muadzin akan memberi jarak antara adzan dan iqamah sembari menunggu jemaah mendatangi masjid.
Dalil mengumandangkan adzan bersandar pada sebuah hadits yang diriwayatkan Malik bin al-Huwairits Radiallahu ‘anhu sebagaimana termaktub dalam kitab Bulughul Maram karya Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani. Ia mengatakan,
قَالَ لَنَا النَّبِيُّ ﷺ وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ … الْحَدِيثَ
Artinya: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada kami, ‘Apabila telah tiba waktu salat, maka hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan…(dijelaskan dalam hadits yang panjang).'” (HR Imam Tujuh)
Ulama Syafi’iyyah Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah-nya mengatakan, para ulama sepakat siapa pun boleh iqamah, baik orang yang mengumandangkan adzan sebelumnya maupun orang lain. Akan tetapi, kata Sayyid Sabiq, yang lebih utama adalah orang yang mengumandangkan adzan maka dialah yang melakukan iqamah.
Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan, “Jika seseorang adzan, dialahh yang lebih dianjurkan untuk iqamah.”
Imam at-Tirmidzi juga menyampaikan pendapat serupa. Ia mengatakan, “Siapa yang mengumandangkan adzan, dialah yang semestinya iqamah.”
Jarak antara Adzan dan Iqamah
Sayyid Sabiq dalam kitabnya turut menjelaskan mengenai jarak antara adzan dan iqamah. Ia mengatakan, sebaiknya memberikan jarak antara adzan dan iqamah untuk beberapa waktu sehingga orang yang mendengarnya dapat bersiap-siap melaksanakan salat dan mendatangi masjid.
Imam Bukhari turut menyebutkan adanya jarak antara adzan dan iqamah, tapi dia tidak menentukan batasannya. Senada dengan itu, Ibnu Baththal juga mengatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas tentang hal itu, selain sewajarnya saja dan berkumpulnya jemaah.
Ada sebuah hadits yang berasal dari Jabir bin Samurah, ia mengatakan,
“Muadzinnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengumandangkan adzan kemudian berhenti dan tidak langsung iqamah. Sampai pada saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar dari rumahnya, dia mengumandangkan iqamah saat melihat beliau.” (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi)
Sunnah Mendengar Adzan dan Iqamah
Dalam sebuah hadits dikatakan, apabila mendengarkan suara adzan maka disunnahkan untuk mengucapkan apa yang diucapkan oleh muadzin. Hadits ini diriwayatkan dari Sa’id al-Khudri Radiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِي له قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Artinya: “Sa’id al-Khudri Radiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Apabila kalian mendengar suara adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin.'” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Umar Radiallahu ‘anhu, khusus ketika muadzin mengucapkan kalimat hai’alatain (hayya ‘alash shalaah dan hayya ‘alal falaah), maka orang yang mendengarnya bisa mengucapkan ‘laa haula walaa quwwata illaa billaah’ (Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan Allah).
Adapun saat iqamah, seseorang bisa berdiri mendengarkannya. Terkait ini, Imam Malik dalam Muwaththa’ mengatakan tidak mendengar batasan berdirinya seseorang ketika iqamah dikumandangkan. Ia berpendapat, hal ini disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan salat karena di antara mereka ada yang kuat dan ada yang lemah.
Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Anas bahwa dia berdiri ketika orang yang mengumandangkan adzan sampai pada kalimat “qadqamatish shalah”.