Selingkuh adalah salah satu perbuatan maksiat yang dibenci oleh Allah. Perbuatan ini sangat dilarang dalam Islam karena masuk ke dalam perbuatan zina. Jika ada seorang istri yang menyelingkuhi suaminya, lalu kemudian ia hamil oleh pria lain, bagaimana hukumnya dalam Islam? Siapa yang akan menjadi ayah dari anak yang dikandung oleh istri yang selingkuh itu?
Masalah ini dibahas oleh Kemenag di laman webnya. Dalam kolom tanya jawab fiqih, Kemenang memberitahu nasab anak yang dikandung oleh si wanita yang selingkuh tersebut.
Imam an-Nawawi, seorang ulama dalam madzhab Syafi’i telah menjelaskan dalam salah satu karyanya. Jika seorang perempuan yang sudah menikah hamil, dan kemungkinan kehamilannya disebabkan oleh laki-laki selain suaminya, maka saat anak itu lahir status kebapakan anak tersebut dikaitkan dengan suaminya.
وان اشتركا في وطئها في طهر فأتت بولد يمكن أن يكون منهما لحق الزوج لان الولد للفراش
Artinya, “Jika ada dua orang pria (suami sah dan selingkuhan istri) yang bersama-sama menggaulinya (istri tersebut) dalam keadaan suci, kemudian si istri hamil (dan melahirkan) anak yang dimungkinkan anak itu berasal salah satu dari kedua pria tadi, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami sahnya. Sebab ada hadis, ‘Anak itu milik si empunya ranjang,’ (HR. al-Bukhari-Muslim).” (Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz XVII/410).
Pendapat tersebut juga sejalan dengan pandangan al-Qalyubi. Ia menyatakan bahwa jika seorang perempuan yang sudah menikah atau sudah bersuami hamil dan melahirkan, maka anak tersebut adalah milik suaminya.
وَإِنْ كَانَتْ مُزَوَّجَةً فَالْوَلَدُ لِلزَّوْجِ
Artinya, “Jika si wanita bersuami, (kemudian melahirkan anak), maka anak itu milik suaminya,” (Lihat: Hasyiyat Qalyubu wa ‘Umairah, juz III/17).
Namun, situasinya berbeda jika seorang perempuan lajang atau yang telah lama tidak bersuami mengalami kehamilan akibat hubungan dengan seorang laki-laki. Dalam hal ini, anak tersebut akan bernasab dengan ibunya sendiri.
Berbeda juga jika seorang perempuan yang belum menikah, baik itu perawan atau janda, mengalami kehamilan dan kemudian menikah dengan laki-laki dalam waktu yang sama dengan minimal usia kehamilan, yaitu enam bulan. Maka anak tersebut dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi.
إذا تزوج امرأة وهي وهو ممن يولد له ووطئها ولم يشاركه أحد في وطئها بشبهة ولا غيرها وأتت بولد لستة أشهر فصاعدا لحقه نسبه ولا يحل له نفيه
Artinya, “Jika seorang wanita menikah, sementara dirinya dan pria yang menikahinya termasuk orang yang sudah mampu memberi keturunan, juga tidak ada pria lain yang menyertai pria tersebut dalam mencampuri si wanita tadi, baik secara syubhat maupun selain syubhat, hingga lahirlah seorang anak dengan usia kehamilan enam bulan atau lebih, maka dinasabkanlah anak itu kepada si pria yang menikahinya tadi, dan tidak boleh si pria menolaknya.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, juz II/121).
Dasar hukum untuk menetapkan minimal usia kehamilan selama enam bulan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Abbas, adalah ayat Allah dalam Al-Quran yang berbunyi, “Kami anjurkan manusia berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibu sang anak telah mengandungnya dengan kesulitan dan melahirkannya dengan kesulitan juga. Kehamilan hingga menyapih anak itu berlangsung selama tiga puluh bulan,” (QS. al-Ahqaf [46]: 15). (Rujukan: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz XVI/74).
Penjelasan di atas mengartikan bahwa, periode kehamilan dan masa menyusui adalah selama tiga puluh bulan, sementara masa menyusui berlangsung selama dua tahun. Oleh karena itu, periode kehamilan minimal adalah selama enam bulan.
Namun, situasinya akan berbeda jika kehamilan berlangsung kurang dari enam bulan. Dalam kasus ini, anak yang lahir dari perempuan tersebut, meskipun dia telah menikah, tetap tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam al-Muhadzab juz II halaman 120. Beliau berkata:
وإن أتت بولد لدون ستة أشهر من وقت العقد انتفى عنه من غير لعان
Artinya, “Jika si wanita melahirkan anak, sementara kelahirannya kurang dari enam bulan sejak berlangsungnya akad, maka tertolaklah anak tersebut dari pria yang menikahinya tanpa harus ada li’an.”
Kesimpulan dari hal ini adalah sebagai berikut:
Jika seorang perempuan yang sudah menikah berselingkuh sampai hamil, maka anaknya akan dinasabkan kepada suami sahnya.
ika seorang perempuan yang masih lajang mengalami kehamilan, lalu menikah dengan seorang laki-laki, dan kelahiran anaknya memenuhi syarat usia minimal kehamilan selama enam bulan sejak akad pernikahan, dan tidak ada hubungan dengan laki-laki lain selama masa ini, maka anak tersebut akan dinasabkan dengan laki-laki yang menikahinya.
Namun, jika seorang perempuan yang masih lajang mengalami kehamilan, kemudian menikah dengan seorang laki-laki, dan usia kehamilan kurang dari enam bulan sejak akad pernikahan, maka anak tersebut tidak akan dinasabkan dengan laki-laki yang menikahi ibunya.
Harus diingat bahwa usia minimal kehamilan adalah selama enam bulan, sementara usia menyapih adalah dua tahun. Penafsiran ini merujuk kepada penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat 15 dari Surat al-Ahqaf dalam Al-Quran, dan pandangan ini diadopsi oleh ulama-ulama dari madzhab Syafi’i.